Seorang ibu sejatinya adalah guru sekaligus murid bagi anaknya.
Guru yang mengajarkan agar anak-anaknya mampu untuk bertahap belajar proses kehidupan, dan murid yang terus belajar bagaimana caranya menjadikan anak-anaknya berhasil menjalani kehidupannya sendiri.
Dua putra pertamaku sudah masuk usia slpra sekolah. Tapi hingga kemarin aku merasa belum terbiasa membiasakan mereka mengurus dirinya sendiri. Bukan karena malas atau alasan yang lain, hanya mungkin karena aku lupa, bahwa peranku menjadi pembimbing mereka seharusnya sudah dibentuk sedari usia mereka kini. Bahwa mereka kelak akan menjalani hidupnya sendiri dan mereka harus bisa tangguh menghadapi hidupnya.
Sejak mendapati materi melatih kemandirian bagi anak, aku memutuskan untuk memulai melaksanakan hari ini..
Pagi ini keduanya kubangunkan lebih awal. Pukul 06.00 lebih awal dari jam biasa mereka terbangun. Memang keduanya sedikit mengeluh, tapi aku yakin proses ini akan menjadi biasa bagi mereka jika dikerjakan setiap hari.
Si sulung Ubaid yang sudah masuk TK kecil, duduk di kasur sekitar 2menit baru kemudian bangkit ke ruang tengah untuk duduk.
Si adik nomor dua, Abbaad yang baru 3bulan terakhir sekolah paud, ikut bangun.
Aku menawarkan 2 opsi pada mereka. Makan pagi atau mandi pagi lebih dulu.
Si kakak sulung meminta makan pagi dulu. Kuambilkan makan paginya sembari bertanya ingin makan apa dengan apa. Meskipun menu sarapan sudah ada, aku tetap bertanya, karena bisa jadi apa yang ingin dia makan berbeda dengan menu yang sudah disiapkan. Sepiring nasi dengan lauk telur dadar dan kecap manis sudah kuletakkan di depan kakinya dan dengan kalimat menyemangati, “kakak kan sudah besar ya, mulai hari ini makan sendiri. Hari ini ibu ambilkan makannya, tapi besok ambil sendiri ya..?”
Dia tidak merespon, kubiarkan dia duduk hanya mengaduk-aduk isi piringnya tanpa keinginan menyuapkan ke mulut. Menit kedua, aku mengingatkan, ” kakak mau makan ini kan? Ayo dimakan, ibu tunggu sebentar sampai kakak suap, nanti ibu tinggal urus yang lain di belakang. Kalau makannya cepat, kakak bisa mandi dan siap-siap ke sekolah, dan tidak terlambat.” Tegasku.
Mungkin dia kaget karena akhirnya aku cukup tega dengan tidak lagi membantunya makan. Dia menyendok makan sambil mata tetap melihat ke televisi. TV pun akhirnya kumatikan demi menjaga konsentrasinya agar menyelesaikan makan. Meskipun memang sudah terbiasa sarapan sambil nonton kartun, tapi kebiasaan buruk yang selama ini dibiarkan harus mulai segera kurubah demi memandirikan mereka.
Si adik nomor dua pun kutanya hal yang sama, mau makan atau mandi lebih dulu. Dan jawabannya pun mengikuti jawaban kakaknya. Begitu pula dengan menu makanannya.
Kusiapkan makannya dan kuletakkan didepan kakinya yang bersila. Namun adegan penolakan tentu saja terjadi dan tentu sudah bisa dibayangkan sebelumnya.” Ibu, tangan Aa’ lengket, tidak bisa suap”
Ah, lucunya, pengen ketawa, tapi nanti aku gagal memandirikan mereka. Juragan tawaku, dan masih dengan nada serius. “Ayo, Aa’ juga sudah besar, makan sendiri juga ya, ibu dan kakak Wati(pengasuh mereka ketika aku bekerja di kantor,~pen) tidak akan suap Aa’. Aa’ belajar makan sendiri ya. Kan anak Sholih” tegasku lagi dengan nada bicara normal
Ah, sungguh menahan tawa menghadapi polah anak keduaku ini sungguh menyiksa. Ingin tertawa tapi tidak tega juga kalau nanti dia luluh dan minta disuap lagi. Biarlah dia mandiri, ibunya harus menegarkan diri, harus menambahkan hati demi masa depan mereka.
“Tapi tangan Aa’ lengket tidak bisa suap, ibuku..” keluh Abbaad lagi..
Hihihi, akhirnya aku melunak, “coba perhatikan ibu, siapnya begini, Aa’ lapar mungkin ya, jadi tangannya lengket karena Aa’ belum ada tenaga. Karena itu Aa’ harus makan”lanjutku
20 menyebabkan berlalu, Aa’ menyerah dengan mengatakan, “Aa’ sudah kenyang, Bu”
“Oh, kalau Aa’ sudah kenyang, Aa’ tidak usah minum susu ya..”Tawaeli
Akhirnya dia menyuap nasi kembali ke mulutnya. mungkin karena aku langsung tegas di percobaan pertama memandirikan mereka, akhirnya mereka masih malas-malasan. Tapi semoga dengan membiasakan setiap pagi begini, lama kelamaan mereka terbiasa.
Butuh waktu 40menit buat kakak Ubaid menghabiskan makannya sendiri. Dan buatku itu suatu prestasi. Meskipun berhamburan di lantai, ia memungut kembali nasi yang jatuh dan memasukkan kembali kedalam piring makannya.
“Kalau nasi jatuh, diambil ya kak. Supaya berkah, disyukuri yang ada sekarang. Kalau disyukuri, nanti Allah tambah lagi nikmatnya, lebih banyak dan lebih enak, Ok?”
Tidak ada jawaban, matanya hanya menatap sesaat padaku, kemudian kembali melihat isi piringnya. Meskipun tidak ada jawaban, tapi aku yakin, pelajaran pagi ini akan dia ingat. Karena aku selalu membiasakan mengatakan padanya, kalau makan di rumah memang usahakan piring harus bersih. Tapi kalau makan diluar, jika nasi jatuh ke tanah dan pantai yang sekiranya kotor, mereka tidak perlu mengambilnya, karena akan jadi kuman penyakit.
Aa’ Abbaad mungkin memang masih belum paham kenapa dia harusandiri di usianya yang dini. Tapi jika dia melihat apa yang menjadi kebiasaan kakaknya, insya Allah dia akan mulai terbiasa mengikuti.
Anak-anak Sholih hebat yang sudah bisa makan sendiri. Kelak, ketika ibu mungkin sudah tidak mampu memberdayakan kalian, ibu berharap apa yang ibu ajarkan akan menjadikan kalian sanggup menghadapi dunia ini dengan kaki kalian sendiri.
#Level2
#KuliahBunSayIIP
#MelatihKemandirian